Buku Teks
Tafsir ulang perkawinan lintas agama : perspektif perempuan dan pluralisme
erjuangan agar perkawinan lintas agama tidak dipersoalkan masih membutuhkan waktu panjang karena agama dan negara saling menjustifikasikan untuk menolaknya. Oleh karena itu dengan memakai perspektif perempuan dan pluralisme tidak hanya membongkar situasi perempuan yang tersubordinasi dalam perkawinan lintas agama, tetapi juga peran agama dan negara yang memasung kebebasan perempuan untuk memilih sekaligus menjalani bentuk perkawinannya. Buku yang diluncurkan Kapal Perempuan hari itu mencoba mengupas hal itu lebih mendalam. Ternyata ada beberapa penafsiran dari berbagai agama yang memandang masalah perkawinan lintas agama ini dengan sudut pandang berbeda. “Ternyata perkawinan lintas agama diperkenankan jika perspektif pluralisme digunakan,” kata Yanti. Artinya, mungkin sudah saatnya meninjau secara kritis dan secara mendalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yanti melihat, sudah saatnya membuka diri untuk memahami perspektif perempuan dalam pluralisme dalam mengkaji perkawinan lintas agama. “Perspektif pluralisme sungguh menarik, sebab akan terbuka olehnya bukan hanya situasi perempuan tetapi bagaimana kekuasaan agama-agama ditancapkan ke tubuh putra-putrinya sendiri, khususnya saat mereka menggeluti kebebasan dalam memilih bentuk perkawinannya,” tulis Maria Ulfah dan Martin Sinaga, editor buku itu. Dengan demikian, akan tampak dinamika dinamika jender dalam perkawinan itu dan akan terbongkar pula perisai agama yang dibuat untuk mengukuhkan ketidakadilan jender tersebut. Melalui anatomi perkawinan lintas agama akan muncul dua hal. Yakni situasi buram perempuan dan kenyataan bahwa agama-agama ternyata memberi andil dalam situasi itu. Khususnya karena mereka tertutup dan membatasi pergulatan putra-putrinya dalam pergulatan memilih dan meraih kebahagiaannya. Kegembiraan untuk berbagi dan memelihara saat orang memilih bentuk perkawinan harus berhadapan dengan batas formal agama-agama dan ruang-ruang perkawinan yang maskulin. “Malah negara melalui hukum publiknya, dalam UU Perkawinan, juga ikut memilih jalur pembatasan dan pengekangan dalam ihwal perkawinan lintas agama,” tulis Maria Ulfah dan Martin Sinaga. Situasi yang muram, menurut keduanya, disebabkan antara lain karena semangat pluralisme yang sungguh langka dalam interpretasi terhadap ajaran agama-agama tersebut. PERKAWINAN campur antaragama, antara hukum kolonial dan kekinian dalam buku itu diulas oleh Sri Wiyanti Eddyono. Menurut Sri Wiyanti, sebenarnya UU tersebut sangat interpretatif, sehingga satu pihak dapat mengartikan perkawinan lintas agama tidak diatur di dalamnya, sementara pihak yang lain mengartikannya pelarangan perkawinan antaragama.
2400500473 | 306.843 TAF | Pulomas (RB. 1 B) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain